Sejuknya Kenangan Itu



Sore itu, aku sedang duduk di dermaga bertemankan angin yang terus saja menggelitik ujung kainku. Aku berada jauh dari keramaian kota. Empat jam lamanya aku terjebak di kapal yang terus melaju di lautan lepas. Lajunya kapal yang menghantam deburan ombak alhasil membuatku berkali-kali harus mengusap wajahku dengan sapu tangan merah muda pemberian ibuku rahimahallah.


---
Sungguh, disetiap sudut pulau ini adalah ketenangan. Kupalingkan wajahku ke kanan, kiri, depan dan belakang; sungguh hanya potret luar biasa yang aku dapati. Beberapa kali semilir angin memainkan mataku seolah memintaku untuk segera beranjak dari dermaga, namun tak kuhiraukan sama sekali.

Sebenarnya aku tak sendirian. Ada banyak wajah disampingku yang juga ikut tenggelam dalam panorama alam ini. Yah kurasa itu wajar karena selama ini mata kami terlalu sering dibentak oleh kebisingan kota. Satu hal yang aku harap dan pasti diharapkan juga oleh mereka; pejuang kemanusiaan; adalah 'bisakah kita tinggal disini lebih lama lagi?'

Ah, mataku sungguh liar. Banyak sekali yang ingin dilihatnya lebih lama. Namun kode dari alam begitu kuat. Dermaga yang kami tapaki berkali-kali bergoyang karena hantaman air laut yang mulai meninggi. Percikan-percikan air pun sudah terasa sampai ke wajah. Air laut yang tadinya biru juga sedikit demi sedikit mulai menghitam dan memantulkan cahaya langit. Itu tandanya surya mulai berlabuh ke ufuk barat. 

Aku pun mengangkat kakiku yang sedari tadi kugantungkan diatas laut. Begitu pula dengan kawan-kawanku yang lain. Kami berjalan beriringan menuju pantai. Semakin dekat ke pantai semakin jelas pula di telinga kami suara adzan yang berkumandang oleh pemilik suara yang sangat kami kenal. Saat melewati mesjid yang hanya satu-satunya di pulau itu, benar saja. Dia sudah berpakaian rapi menghadap Rabb kami. Siapa sangka saat kami terlelap oleh waktu di dermaga tadi, dia sudah sibuk mempersiapkan dirinya untuk ibadah.

Malam pun datang. Itu tandanya tak lama lagi sumber listrik di pulau ini dimatikan. Yah, setiap jam 9 malam kami akan menghadapkan diri pada kegelapan. Namun aku tak khawatir karena datangnya kami di pulau ini tepat di pertengahan bulan hijriah, yang artinya, akan ada satu penerangan luar biasa diatas langit. Yang cahanyanya akan menerangi seluruh manusia bumi yang sedang dilanda malam.

Tepat pukul 9 malam, secara bersamaan semua pencahayaan bangunan di pulau ini padam. Aku pun melangkahkan kaki menuju jendela yang mengarah ke arah dermaga. Lagi-lagi mataku terhipnotis dengan potret itu. Bulan diatas sana sungguh terang, bulat sempurna. Bahkan kapal-kapal nelayan yang sedang menuju ke laut lepas masih bisa tertangkap oleh mataku. 

Tiba-tiba, ada seseorang yang menepuk pundakku. Dia adalah sahabat yang dari pelabuhan kota tak pernah kulepas genggamannya. Sekarang ia memandangku dalam. Tentu saja, ia pasti sedang menerka keinginanku saat itu.

"Ke dermaga yuk?" tanyanya. Memang itulah diteriakkan oleh diriku sedari tadi.
"Pengen sih. Tapi sama Ibu' pasti gak dibolehin" aku menopang daguku diatas jendela dan memasang wajah kusut.
"Hm. Iya sih. Pasti seru kalau kita bisa berbaring disana" ucapnya sambil menunjuk kearah dermaga dengan wajah yang tak kalah kusutnya.
"Iya pasti seru banget. Kapan lagi coba kita berbaring sambil dimandikan cahaya bulan lalu air laut berdesis dibawah tubuh kita?" ucapku dengan sedikit menahan tawa.

Ia berusaha mencerna kalimatku. Tak lama ia tertawa dan mendorongku hingga terjatuh. Aku dengan sigap kembali pada posisi semula. Kemudian kami pun kembali tenggelam dalam lamunan yang sama. Hampir satu jam lamanya kami terhipnotis dengan atmosfir saat itu. Sampai tiba-tiba kami dikejutkan oleh sorot lampu senter dari bawah rumah. Kami langsung paham saja arti dari mimik wajah orang itu yang sangat jelas karena cahaya bulan diatasnya. Aku langsung menutup jendela dan melihat orang itu masih di posisi yang sama. Aku pun membalikkan badan dan bersedia untuk tidur.

"Ah... Indahnya" gumamku.

Dua hari telah berlalu dan ini adalah hari terakhir kami bisa menapaki pulau ini. Ada rasa yang sungguh berat untuk meninggalkannya. Semua misi kami telah terlaksana dengan baik dan hari terakhir akan kami pergunakan untuk berpamitan dengan panorama pulau ini. Aku bersama sahabatku sengaja bangun sebelum fajar untuk bisa packing lebih awal agar nanti bisa puas menikmati setiap sisi pulau ini. Benar saja, setelah sholat subuh kami berlari-lari menuju dermaga. Tujuan utama kami adalah mempersaksikan kembalinya matahari setelah berlabuh. Sunrise.

Saat kami tiba di dermaga, kami dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Kami mengira bahwa kamilah yang akan menjadi pengunjung pertama di dermaga pagi itu. Karena melihat kehadiran kami, dia tiba-tiba mematung dan berencana untuk pergi. Namun karena dermaga yang memiliki lebar kurang dari satu meter untuk sampai di ujung dermaga yang lebih luas memaksanya harus menunggu kami untuk tiba di ujung dermaga yang saat itu ia berada. Aku berkali-kali mencolek sahabatku, apakah kami harus putar balik dan menunggunya pergi ataukah kami terus saja, namun tangan sahabatku itu terus saja menarikku seakan-akan tak menganggap kehadiran orang diujung sana.

Tentu saja. Saat tiba di ujung dermaga, orang itu langsung pergi begitu saja secepat mungkin. Aku tak bisa memastikan kecepatan apa yang ia gunakan karena saat aku berbalik sosoknya sudah hilang begitu saja. (Jangan berpikir dia hantu yah hehe, dia manusia kok^^). Akupun memulai misiku dengan sahabatku, aku memasang kamera yang mengarah pada arah naiknya matahari lalu aku membiarkan kamera itu bekerja dengan sendirinya sehingga aku dan sahabatku bisa bermain-main sedikit dengan air laut.

Jangan berpikir bahwa selama kami di pulau ini rasanya akan sejuk terus menerus. Tidak wahai kawan. Saat siang hari, rasanya waktu berjalan begitu lambat. Panas menyengat, terasa sampai ke tulang-tulang. Buku yang kami gunakan untuk menyibakkan angin sungguh adalah perbuatan yang sia-sia. Tapi keadaannya akan sangat berbeda di malam hari. Udara di malam hari sangatlah sejuk. Sesejuk kenanganku dipulau ini.

Aku kini berada di atas kapal (lagi). Saatnya untuk menghadapi kenyataan. Lebih lama tingggal pun akan memberi kesan semakin berat pula untuk kami meninggalkannya nanti. Aku kini pulang beroleh-oleh kenangan dari pulau itu. Aku tak akan pernah melupakannya, bahkan sekecil apapun itu. Ramahnya penduduknya, semilir angin di dermaga, deburan ombak di pasir putih, anak-anak pulau yang berlarian melingkari garis pantai, merdunya adzan dan beberapa adegan canggung yang sempat terjadi.

Semuanya indah. Bisakah aku kembali lagi? Rasanya tidak mungkin. 
Akankah kudapati potret seperti itu lagi? Sepertinya tidak. 

Hadirnya gedung-gedung pencakar langit dalam pandangan mataku yang semakin lama semakin membesar akhirnya membuatku tersadar. Kami sedikit lagi akan sampai. Air laut yang tadinya biru juga mulai mengeruh. Tanda banyaknya aktivitas di pinggiran pantai itu. 

Oke. Kami sampai.
Saatnya kami bangun dari mimpi indah kami.


Komentar

Postingan Populer