Anakku, Ujian Terbesarku

      Aku terlahir di tengah-tengah keluarga yang berkecukupan dalam artian tidak kaya tapi cukup karena perihal kaya adalah bagaimana kelapangan hati dan syukur kita atas apa yang telah Allah berikan. Ayahku; sosok panutanku; adalah seorang yang sangat taat beribadah. Tak satupun waktu shalat yang terlewat yang tak dilakukan di masjid. Kedekatan dengan Al-Qur'an jangan ditanya, Al-Qur'an seperti fungsi ponsel baginya.

      Kami ada tujuh bersaudara dan aku adalah anak nomor lima. Usia kami semua terlampau 6 atau 3 tahun satu sama lain sehingga antara adik bungsu dan kakak sulungku sangatlah jauh jarak usianya. Ibuku yang begitu kusayangi; dia adalah sosok wanita yang sangat sabar dan telaten dalam mengurus kami semua. Bersih, rapi, dan lihai dalam mengurus rumah dan kami semua. Dan satu lagi, ibuku tak pernah ikut nimbrung apabila ada tetangga yang asik berkumpul menggibahi siapapun yang lewat. Aku sangat bersyukur Allah berikan ibu yang sangat mampu menjaga lisan dan hatinya.

      Dibesarkan oleh orangtua yang baik pastilah akan menutup kemungkinan ada anak yang akan berakhlak buruk. Teorinya adalah buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Harusnya ayah dan ibuku akan berhasil mencetak anak-anak dengan kepribadian dan akhlak yang baik sebagaimana didikan yang telah mereka tuangkan kepada anak-anaknya. Tapi... Yang terjadi adalah sebaliknya.

      Entah faktor apa yang menjadi pemicu munculnya karakter-karakter itu dalam diri saudara-saudaraku. Seakan-akan tak ada satupun positif yang dominan dalam perilaku mereka. Aku yang kalau bukan Allah yang menuntunku ke jalan yang benar, subhanallah pasti akan terjerumus juga seperti saudara-saudaraku yang lain. Alhamdulillah, alhamdulillah.

      Bukan aku mentazkiyah diriku sendiri, namun karena Allah memilihkanku jalan ini dan menuntunku untuk mempelajari ilmu agama, sehingga aku sadar bahwa ada yang salah dari keluargaku. Sebelum aku mengenal dakwah ini, aku sangat acuh kepada mereka -saudara-saudaraku- apapun yang mereka lakukan aku tak memperdulikannya. Namun setelah belajar, seperti yang telah kukatakan, aku pun tersadar bahwa kelakuan-kelakuan mereka sangat jauh dari tuntunan syariat.

      Aku selalu berpikir keras bahkan sempat melakukan sedikit survey. Karena ayahku sedikit tegas dalam mendidik kami, aku pun penasaran apakah ketegasan kepala keluarga berpengaruh penting pada karakter anak. Sampai saat ini memang belum kutemukan jawaban pastinya. Tapi setelah melakukan sedikit survey pada beberapa keluarga yang ada di wilayah rumahku, aku menemukan bahwa memang 60% anak yang dididik dengan ketegasan akan membentuk karakter lain dalam diri mereka. (Angka persen tdk bersifat pasti yah)

      Mungkin kalian sedikit penasaran dengan penyimpangan-penyimpangan karakter dari saudara-saudaraku. Akan sedikit kuceritakan. Kakakku yang pertama dan keempat pernah momboikot ayahku dan pergi dari rumah. Saudaraku yang lain sering bolos sekolah bahkan putus sekolahnya karena malas. Ada juga yang sering keluyuran malam karena berbagai kepentingan yang sebenarnya tak penting. Masih banyak lagi yang lain, dan seharusnya tak perlu kusampaikan.

      Jangan ditanya bagaimana perasaan ayah dan ibuku terhadap masalah-masalah ini. Ayah dan ibuku saat ini alhamdulillah Allah berikan mereka kesabaran yang tiada batas menghadapi anak-anaknya sambil memperbaiki mereka sedikit demi sedikit. Kalau ada yang bertanya, aku bagaimana? InsyaaAllah mereka mempercayaiku.

      Aku selalu berdoa kepada Allah agar ayah dan ibuku selalu lapang hatinya menghadapi kami. Aku yakin bahwa bukan didikan dari mereka yang salah, tapi ini adalah salah satu ujian yang Allah berikan kepada mereka. Selalu terngiang di kepalaku setiap aku bersedih dan prihatin kepada kedua orangtuaku mengenai kisah nabi Ya'kub yang sungguh kisah penuh pelajaran itu termaktub dalam Al-Qur'an. Bagaimana nabi Ya'kub diuji dengan anak-anaknya yang bersekongkol untuk membuang saudaranya; Yusuf agar jauh dari nabi Ya'kub. Bertahun-tahun nabi Ya'kub bersabar sampai badannya sakit dan mengurus bahkan buta matanya karena tak bisa menahan kesedihannya, namun ia tetap dan terus bertawakkal kepada Allah.

      Sekelas nabi saja diuji dengan anak-anaknya sendiri, apatah lagi dengan kita yang hanya manusia biasa. Ujian bisa datang dalam bentuk apa saja. Ingatlah bahwa sesendok garam yang dituang dalam segelas air pasti akan sangat asin rasanya, namun sesendok garam yang dituang ke dalam danau apakah ada pengaruhnya? Sebenarnya bukan ujian yang besar, tapi bagaimana lapangnya hati kita dalam menerima ujian itu.
Allahulmusta'an.


Komentar

Postingan Populer