Ibuku tak Seperti Dulu Lagi
Ibu tak seperti dulu lagi. Ia berubah. Sikapnya berubah. Wajahnya berubah. Semua tentang Ibu telah berbeda. Tak ada lagi omelan khas yang ia keluarkan dari mulutnya ketika aku terlambat bangun pagi, ketika aku tak melakukan pekerjaanku, ketika aku bertengkar dengan saudaraku. Tak ada lagi belaian lembut dari tangan Ibu yang khas di ubun-ubun kepalaku. Tak ada lagi dekapan hangat yang bisa aku dapatkan saat aku terbaring sakit. Tak ada lagi orang yang bisa aku tanyai saat aku tak bisa menemukan barangku yang hilang karena keteledoranku sendiri.
Kini Ibu terkulai lemah tak berdaya di
atas rajutan sutera halus yang aku rapikan agar ia bisa beristirahat dengan
nyaman. Ibu tak banyak bergerak. Badannya sudah terlalu kurus karena tak
dilindungi lagi oleh sistem imun yang kuat. Mata sayunya selalu saja lembab
karena air mata yang terus mengalir karena tak tega melihat aku, ayah, dan
kakakku menghabiskan waktu secara bergantian untuk mengurusnya. Ibu tak mampu
lagi menopang tubuhnya. Ibu tak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun dengan
jelas. Bahkan Ibu tak mampu lagi menahan kotorannya agar tak keluar di tempat
ia berbaring.
Beberapa hari yang lalu ketika aku
berbicara dengan Ayah di telepon untuk menyampaikan padanya suatu hal terkait
dengan perkuliahanku, aku meminta Ayah untuk memberikan telepon tersebut kepada
Ibu. Ibu berbicara seperti orang yang sangat sehat tanpa gangguan dari sakit
apapun. Dia menanyakan kabarku, menanyakan masalah perkuliahanku, dan
menanyakan kapan aku pulang. Aku menjawab semua pertanyaan Ibu dengan nada
sedikit bosan. Namun sosok yang ada di sambungan telepon sana tetap saja
tertawa ramah saat mendengar semua jawabanku. Bahkan ketika aku menyampaikan
padanya bahwa dua hari lagi aku akan pulang, aku bisa merasakan betapa
senangnya perasaan Ibu.
Dua hari kemudian ketika aku telah
sampai di rumah, aku mengetuk pintu. Aku memanggil nama Ibu beberapa kali namun
tak ada jawaban. Biasanya ketika aku baru saja sampai di rumah, Ibu yang selalu
membukakan pintu untukku dan bertanya banyak hal ketika aku telah memasuki
rumah. Beberapa menit kemudian, daun pintu mulai terbuka perlahan. Tak
kutemukan sosok Ibu dibalik pintu, melainkan Ayahku.
“Assalamualaikum. Mana Ibu, Ayah?”
“Dia di dalam kamar” jawab Ayah dengan mata yang setengah mengantuk.
Alangkah terkejutnya aku setelah
menyaksikan kondisi Ibu yang seperti itu. Dia terbaring lemah di atas kasur
berataskan plastik yang seketika aku tahu gunanya agar air seninya tak merembes
kemana-mana. Lengan dan betis Ibu yang dulunya padat karena daging kini telah
kurus dan lembek. Tak terasa butiran demi butiran air hangat membasahi pipiku
yang tadinya dingin karena udara pagi yang segar. Namun sosok yang ada di
depanku ini masih sempat saja memberikanku senyum yang selalu ia berikan
sebelumnya. Ia membelai rambutku perlahan untuk memberikanku rasa nyaman sama seperti yang ia sering lakukan dulu saat masih sehat.
Ibu, sehatlah! ♡♡
Banyak yang ingin kuceritakan padamu:)
Komentar
Posting Komentar